Selasa, 16 Desember 2014

TUGAS 4 : Perbandingan Antara Job Creator dan Job Seeker


Job Creator dan Job Seeker, pernahkah anda mendengar dua kata tersebut ? atau mungkin anda salah satu diantara mereka ? ya mungkin kedua istilah tersebut sudah tidak asing lagi untuk di dengar. Seperti yang kita tahu Job Creator adalah orang yang membuat lapangan pekerjaan / wirausaha, sedangkan Job Seeker adalah orang yang mencari pekerjaan. Kebanyakan sekarang orang ataupun mahasiswa yang fresh graduate lebih memilih menjadi Job Seeker dibandingkan menjadi Job Creator. Mereka lebih senang bekerja di perusahaan atau organisasi dari pada membuat atau membuka lapangan pekerjaan atau yang sering disebut dengan berwirausaha. Orang-orang di jaman sekarang ini telah banyak tergiur dengan gaji yang tinggi, bekerja di tempat yang bagus, dan dikatakan sebagai seorang kayawan/karyawati. Mereka berlomba-lomba mencari info lowongan pekerjaan kesana-kesini demi mendapatkan pekerjaan impian yang selama ini telah mereka idam-idamkan kemudian mereka melamar pekerjaan ke perusahaan 1 atau ke yang lainnya dengan membuang banyak biaya, waktu dan tenaga. Namun apakah menjadi seorang Job Seeker akan dapat banyak keuntungan di masa yang akan datang ? yang jelas tidak ada yang salah dengan apapun pilihan mereka tapi apakah lebih baik jika kita menjadi seorang Job Creator / wirausaha ?

Untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja dari pada pencari kerja, maka diperlukan suatu usaha nyata. Berbagai kebijakan dan program untuk mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan. Program Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Kuliah Kewirausahaan (KWU), Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), telah banyak menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan hasil-hasil karya invosi mahasiswa melalui PKM potensial untuk ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah perkembangan bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks).

            Pada dasarnya menjadi seorang wirausaha / job creator terlebih dahulu harus memiliki sifat-sifat yang lahir dalam dirinya agar berhasil dalam melakukan apa yang diinginkannya. Sifat-sifat tersebut diantaranya :
·                     Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
·                     Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif.
·                     Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
·                     Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.
·                     Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
·                     Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
·                     Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.
Dari beberapa sifat-sifat diatas sangat mencerminkan bahwa seorang job creator lebih mempunyai kemandirian dan keberanian dalam menciptakan lapangan perkerjaan baru dibanding menjadi seorang job seeker. Job creator dan job seeker mempunyai perbedaan yang mendasar yang pasti sudah kita ketahui, yaitu :

Job Creator :
a.       Membuka lapangan pekerjaan sendiri
b.      Bebas bereksplorasi terhadap usaha yang didirikannya
c.       Tidak terikat waktu
d.      Mandiri
e.       Independen
f.       Berorientasi pada masa yang akan datang

Job Seeker :
a.       Terikat dengan waktu
b.      Harus bekerja mengikuti prosedur
c.       Kurang independen
d.      Sedikit terkekang
e.       Sering kehilangan banyak waktu

Itulah beberapa contoh perbedaan job creator dengan job seeker yang dapat kita lihat. Dari perbedaan tersebut dapat kita simpulkan bahwa menjadi job creator lebih baik dibanding hanya menjadi job seeker. Hal inilah yang membuat kita berpikir bahwa pola pikir yang selama ini kita pikirkan untuk menjadi seorang job seeker sedikit demi sedikit harus di perbaiki secara tepat. Contohnya antara lain :

1. Tidak mempunyai keyakinan, gantikan dengan sebuah keyakinan yang kokoh untuk menjadi yang terbaik
2. Tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, gantikan dengan menetapkan tujuan hidup yang jelas dan mantap
3. Tidak mempunyai strategi yang ampuh mengatasi kesulitan hidup, gantikan dengan belajar dari orang lain   dan berpikirlah secara komprehensif untuk mengatasi setiap persoalan yang dihadapi
4. Tidak mempunyai rencana yang realistik, gantikan dengan tetapkan rencana yang masuk akal untuk dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan cara yang elegan.

            Terlepas dari beberapa hal diatas, pasti banyak orang yang bertanya-tanya apa sih kelebihan dan kekurangan menjadi seorang job creator dibanding job seeker. Setiap apa yang kita pilih untuk hidup kita pasti selalu terdapat kelebihan dan kekurangan, dalam hal ini kelebihan dan kekurangannya adalah :

a.       Waktu yang kita miliki menjadi lebih banyak
Waktu yang kita miliki pasti akan lebih fleksibel dibanding menjadi seorang job seeker yang setiap harinya selalu terikat dengan waktu.

b.      Mempunyai pendapatan sendiri
Berbeda dengan job seeker, mereka menghasilkan uang dengan bekerja dan di gaji sesuai dengan kesepakatan, tidak seperti job creator yang bisa mendapatkan uang yang banyak atau sedikitnya tergantung usaha dari dirinya sendiri.

c.       Membuka lapangan pekerjaan baru
Dalam hal ini job creator dapat membuka lapangan pekerjaan baru yang sangat bermanfaat untuk semua orang.

d.      Ilmu dan wawasan semakin luas
Tak hanya rekanan saja yang bertambah, ilmu pengetahuan dan wawasan akan terus berkembang. Misalnya ilmu dan wawasan seputar perkembangan bisnis,ekeonomi dan sosial. Hal ini  juga bisa didapatkan dari  rekanan/client yang sering kita temui.

e.       Memperluas usaha dengan mempunyai banyak rekan
Dengan menjadi job creator, sehari-harinya kita akan bertemu dengan banyak orang, dan bisa saja salah satu dari beberapa orang yang sering kita temui dapat menjadi Partner bisnis yang menguntungkan untuk memperluas usaha yang kita dirikan.

f.       Dapat menyalurkan hobby melalui pekerjaan
Hal ini akan menjadi nilai tambah bagi seorang job creator. Karena kita dapat menyalurkan hobby atau bakat yang kita punya untuk menghasilkan barang atau jasa yang bermanfaat bagi banyak orang.

Sedangkan untuk kekurangannya adalah :

a.       Pendapatan yang diterima tidak pasti

b.      Bekerja dengan waktu yang panjang
Tentu seorang job creator ingin selalu mengembangkan usahanya, namun kadangkala proses ini sangat memakan banyak waktu dan dituntut untuk bekerja keras.

c.       Modal yang pas-pasan
Seorang job creator baru – baru untuk memulai usaha pasti dengan modal yang sangat minim, karena pada dasarnya ia baru mencoba sesuatu hal yang baru. Hal ini akan berdampak positif dan negatif, positifnya jika ia dapat menggunakan modal dengan sebaik-baiknya maka ia akan mendapatkan tambahan modal serta dapat menambah aset dalam menjalankan usahanya, sedangkan negatifnya jika ia tidak dapat memanfaatkannya dengan baik, alhasil modal yang ia keluarkan akan menjadi sia-sia dan terbuang dengan percuma.

d.      Tanggung jawab serta resiko yang besar
Hal ini mungkin sudah biasa bagi seorang job creator. Kelangsungan usaha yang dimilikinya tergantung dari kemampuan pemilik usaha. Jika ia dapat meminimalisir semua hambatan dan dapat menggeser resiko, otomatis resiko yang ia hadapi akan semakin kecil.

e.       Banyaknya beban pikiran
Seorang job creator sama seperti yang lainnya ia hanyalah seorang manusia, beban yang ia pikul bukan hanya kehidupan sehari-harinya namun juga dengan usaha yang ia dirikan. Dalam hal ini apabila seorang job creator merasa tidak mampu menyelesaikan masalahnya maka yang di lakukan adalah harus bisa mengkonsultasikan masalah bisnisnya pada rekan bisnis yang lebih senior atau jasa konsultan bisnis. Agar problem yang di hadapi segera teratasi.

Sebenarnya menjadi seorang job creator maupun job seeker adalah keinginan dari individual masing-masing. Hal ini pada dasarnya sangat berpengaruh juga terhadap kemampuan dan hati nurani mereka masing-masing. Jika ia lebih suka dengan membuat usaha sendiri atau lebih memilih bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah entitas itupun tidak masalah. Yang terpenting bagaimana ia bisa mengatur apa yang ia kerjakan. Karena setiap apa yang kita pilih akan menentukan bagaimana nasib kita dimasa yang akan datang, maka dari itu harus dipikirkan secara matang-matang agar jalan yang kita ambil tidak salah dan menyesatkan diri sendiri. Percaya pada hati bahwa apa yang kita lakukan itu benar dan tidak merugikan orang lain.

Tugas 3 : Analisis Jurnal Tentang "Fraud"



Ringkasan Jurnal :
Judul          : Pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Profesionalisme Terhadap kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Penulis              : Marcellina Widiyastuti, dan Sugeng Pamudji
Universitas       : Universitas Diponegoro Semarang
No Jurnal         : VALUE ADDED, Vol.5, No.2, Maret 2009 – Agustus 2009

Abstrak :
This study aims to examine the influence of competency, independency, and professionalism toward auditor's ability to detect fraud This study uses competency, independency, and professionalism because these are auditor's minimum attitudes that must auditors have in their tasks. Using questioner to collect data to auditor who works in Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (The Indonesia's Supreme Audit Institution), Jakarta. This research use purposive sampling to choose the sample. From 93 questionnairs, only 68 questionnairs were back. In this study, researcher used Partial Least Square (PLS) with SmartPLS software. The result indicates that competency, independency, and professionalism have significantly and positively effict toward auditor's ability to detect fraud. This result also indicates that there is no differently from competency, independency, and professionalism between independent auditor and governmental auditor toward auditor's ability to detect fraud. Future research is expected can extend survey area coverage, variables research object, and don't spread the questionnairs in audit times.
Keyword: competency, independency, and professionalism toward auditor's ability to detect fraud

Latar Belakang :
Dewasa ini, auditor mendapat sorotan publik akibat kasus-kasus yang terjadi sehubungan dengan profesinya, tak terkecuali auditor pemerintah. Auditor pemerintah yang merupakan auditor yang bekerja di instansi pemerintah bertugas untuk melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor pemerintah yang terdapat di Indonesia adalah auditor yang bekeIja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK ·RI), dan instansi pajak. Salah satu contoh kasus yang berhubungan dengan auditor pemerintah yang mendapat sorotan adalah adanya perbedaan opini yang dikeluarkan antara BPK -RI dengan Pricewaterhouse Coopers (PwC) saat mengaudit Bank Indonesia pada tahun 2000 (www.kompas.com). Pada saat itu, opini audit yang dikeluarkan BPKRI adalah tidak menyatakan pendapat (disclaimer opinion), sedangkan pendapat PwC adalah tidak wajar umum. Istilah kecurangan (fraud) berbeda dengan istilah kekeliruan (errors) (Suryo, 1999; Setiawan, 2003). Faktor utama yang membedakannya adalah tindakan yang mendasarinya, apakah tindakan tersebut dilakukan secara disengaja atau tidak. Jika tindakan tersebut dilakukan secara sengaja, maka disebut kecurangan (fraud) dan jika tindakan tersebut dilakukan tidak secara sengaja, maka disebut dengan kekeliruan (errors). Untuk mendukung kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan yang dapat terjadi dalam auditnya, auditor perlu untuk mengerti dan memahami kecurangan, jenis, karakteristiknya, serta cara untuk mendeteksinya. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan antara lain dengan melihat tanda, sinyal, atau red flags suatu tindakan yang diduga menyebabkan atau potensial menimbulkan kecurangan. Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dari keadaan normal. Dengan kata lain, red flags merupakan petunjuk atau indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut (Sitinjak, 2008). Meskipun timbulnya red flags tidak selalu mengindikasikan adanya kecurangan, namun red flags biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan yang terjadi sehingga dapat menjadi tanda peringatan bahwa kecurangan terjadi (Amrizal, 2004). Pemahaman dan analisis lebih lanjut mengenai redjlags, dapat membantu langkah selanjutnya bagi auditor untuk dapat memperoleh bukti awal atau mendeteksi adanya kecurangan. Di dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mendeteksi kecurangan, auditor perlu didukung oleh sikap kompetensi, independensi, dan profesionalisme. Sikap-sikap ini termuat dalam standar umum auditing yang terdapat pada SPKN. Di dalam SPKN dinyatakan bahwa sikap umum seorang auditor yang berhubungan dengan pribadinya adalah kompetensi (keahlian dan pelatihan teknis), independensi, dan profesionalisme (penggunaan kemahiran profesional auditor dengan cermat dan seksama). Oleh karena itu, auditor hams mempunyai dan mempertahankan ketiga sikap ini karena sikap-sikap ini sangat diperlukan auditor agar ia tidak gagal dalam mendeteksi kecurangan dan setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut menyembunyikan kecurangan tersebut. Pada pernyataan standar umum pertama dalam SPKN, dinyatakan bahwa pemeriksa secara kolektif hams memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Hal ini berarti, dengan menggunakan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman, serta pelatihan teknis yang cukup, auditor diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Selain itu, dengan memiliki sikap kompetensi, auditor juga dapat mengasah sensitivitas (kepekaannya) dalam menganalisis laporan keuangan yang di auditnya sehingga auditor mengetahui apakah di dalam laporan keuangan tersebut, terdapat tindakan kecurangan atau tidak serta mampu mendeteksi trik-trik rekayasa yang dilakukan dalam melakukan kecurangan tersebut (Lastanti, 2005). Selain kompetensi, sikap independensi juga harus dimiliki dan dipertahankan oleh auditor. Sikap ini mengharuskan auditor agar dalam setiap menjalankan tugasnya, ia tidak dibenarkan memihak kepada siapapun. Pada pemyataan standar umum kedua dalam SPKN, dinyatakan bahwa dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstem, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Sikap independensi diperlukan auditor agar ia bebas dari kepentingan dan tekanan pihak manapun, sehingga auditor dapat mendeteksi ada tidaknya kecurangan pada perusahaan yang di auditnya dengan tepat, dan setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut terlibat dalam mengamankan praktik kecurangan tersebut (Lastanti, 2005). Sikap penting lainnya yang harus dimiliki dan dipertahankan oleh auditor adalah sikap profesionalisme. Hal ini diatur dalam standar umum ketiga SPKN, yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemah iran profesionalnya secara cermat dan seksama. Hal ini berarti auditor dituntut untuk memiliki keterampilan umum yang dimiliki auditor pada umumnya dan merencanakan serta melaksanakan pekerjaan menggunakan keterampilan dan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Penggunaan kemahiran professional dengan cermat dan seksama, memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Di Indonesia, penelitian mengenai peran kompetensi, independensi, dan profesionalisme sudah banyak dilakukan, namun penelitian yang menggabungkan ketiga sikap ini terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan belum dilakukan. Penelitian ini menggabungkan ketiga sikap ini karena ketiga sikap ini merupakan sikap minimal yang harus dimiliki setiap individu auditor dalam menjalankan tugasnya agar tugas yang dijalankan sesuai dengan aturan profesinya. Khususnya dalam mendeteksi kecurangan, ketiga sikap ini diperlukan agar auditor mampu mendeteksi kecurangan yang dapat terjadi dalam tugas auditnya dengan tepat dan auditor tidak ikut terlibat dalam mengamankan kecurangan tersebut.

Variabel Penelitian :
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompetensi (X1), independensi (X2), serta profesionalisme (X3), kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) (Y)

Metodologi Penelitian :
Variabel kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) dan variabel independensi dalam penelitian diukur menggunakan skala Likert. Untuk setiap pertanyaan atau pernyataan dari setiap variabel diberi nilai skor dari yang terendah hinggi tertinggi secara berturut-turut diberikan nilai 1, 2, 3, 4, 5.
Untuk mengukur variabel kompetensi, peneliti me nggunakan instrumen pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan diukur dengan menggunakan instrumen pengetahuan dari pendidikan formal, pengetahuan dari pendidikan non formal (pelatihan, kursus, dan seminar), kemampuan berkomunikasi dengan klien, dan kedisiplinan (ketepatan waktu). Sedangkan untuk pengalaman diukur dengan instrumen banyaknya klien yang telah di audit dan lamanya  bekerja sebagai auditor.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode survey, yaitu dengan menyebarkan kuesioner pada sampel yang akan diteliti. Pertanyaan kuesioner pada dalam penelitian ini merupakan pertanyaan tertutup yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi data responden yang merupakan gambaran umum responden secara demografis dan bagian kedua berisi daftar pertanyaan yang mewakili variabel penelitian.
 Pengujian model pengukuran (outer model) digunakan untuk mengetahui hubungan antara indikator dengan konstruknya (Ghozali, 2008). Pengujian outer model terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji convergent validity, discriminant validity, dan composite reliability. Uji convergent validity dan discriminant validity digunakan untuk menguji validitas indikator setiap variabel, sedangkan uji composite reliability digunakan untuk mengukur reliabilitas dari indikator yang mengukur konstruk.

Hasil Penelitian :
Pengaruh yang signifikan juga tampak pada variabel independensi terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). HasH ini berarti mendukung hipotesis yang kedua, yaitu independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Nilai t statistik sebesar 2,587 yang lebih besar dari 1 ,96 berarti terdapat pengaruh signifikan antara independensi terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Nilai koefisien parameter sebesar 0,289 berarti terdapat pengaruh positif antara independensi dan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Semakin tinggi independensi seorang auditor, maka semakin tinggi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).
Sedangkan pengaruh profesionalisme terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud) juga mempunyai pengaruh yang signifikan. Ini berarti penelitian ini mendukung hipotesis ketiga, yaitu profesionalisme berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Nilai t statistik sebesar 4,204 yang lebih besar dari 1,96 berarti terdapat pengaruh signifikan antara profesionalisme terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Nilai koefisien parameter sebesar 0,298 berarti terdapat pengaruh positif antara profesionalisme dan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Semakin tinggi profesionalisme seorang auditor, maka semakin tinggi kemampuan auditor dalarn rnendeteksi kecurangan (fraud).

Analisis Jurnal :
Terdapat pengaruh positif pada kompetensi, independensi, profesionalisme terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan kompetensi yang baik, auditor dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik, terlebih dalarn mendeteksi kecurangan yang dapat terjadi dalam melaksanakan tugas auditnya. Selain itu, dengan sikap kompetensi, auditor juga dapat mengasah kepekaannya dalam menganalisis laporan keuangan dan mampu mendeteksi trik-trik rekayasa yang dilakukan untuk melakukan kecurangan tersebut sehingga ia dapat mengetahui apakah di dalam tugas auditnya itu, terdapat tindakan kecurangan atau tidak. Selain itu, dengan menggunakan independensi, kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan akan menjadi lebih baik dan setelah kecurangan terdeteksi, auditor tidak ikut terlibat dalam mengamankan praktik kecurangan tersebut. Dan dengan semakin meningkatnya profesionalisme seorang auditor dalam menjalankan tugasnya, maka kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan juga meningkat karena auditor memiliki keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan.

Tugas 1 : Opini Tentang Deskripsi Etika & Profesi



I. ETIKA
Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian  menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu;
1.      Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
         moral  (akhlak).
2.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.      Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Definisi Etika Menurut Ahli :
1.      Drs. O.P. Simorangkir
Etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
2.      Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat
Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
3.      Rosita Noer
Etika adalah ajaran(normatif) dan pengetahuan(positif) tentang yang baik dan yang buruk, menjadi tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
4.      Drs. H. Burhanudin Salam
Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menetukan perilaku manusia dalam hidupnya.
5.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995)
Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
6.      Menurut Maryani & Ludigdo (2001)
Etika adalah seperangkat aturan dan norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
7.      Menurut Filsuf Yunani Kuno Socrates
Etika adalah penyelidikan kehidupan. Etika juga dapat didefinisikan sebagai ilmu praktis yang berkaitan dengan moralitas tindakan manusia, ilmu tindakan manusia yang berfungsi sebagai referensi untuk apa yang benar atau apa yang salah, semacam penyelidikan ilmiah ke dalam prinsip-prinsip moralitas, cara mempelajari perilaku manusia dari titik pandang dari apa yang disebut moralitas, suatu jenis ilmu pengetahuan yang meletakkan prinsip-prinsip hidup yang tepat, sebuah studi tentang kejujuran dari perilaku manusia, ilmu praktis yang panduan dalam tindakan manusia serta bagaimana hidup benar dan baik, dan itu adalah ilmu yang normatif dan praktis dan berbasis pada alasan yang mempelajari perilaku manusia serta memberikan norma kejujuran alam serta integritas.
8.      Magnis Suseno
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup dalam moralitas. Moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup.
Macam-macam Etika :
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam  menentukan baik dan buruknya prilaku manusia :

1) Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2) Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
1) Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
2) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
1) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

II. PROFESI
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknik dan desainer.
Ciri-ciri Profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

III. OPINI PENGERTIAN DESKRIPSI ETIKA DAN PROFESI
Etika profesi adalah suatu ilmu mengenai hak dan kewajiaban yang diladasi dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar ini merupakan hal yang diperlukan dalam beretika profesi. Sehingga tidak terjadi penyimpangan - penyimpangan yang menyebabkan ketidaksesuain.
Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan, bukan hanya loyalitas tetapi etika profesilah yang sangat penting. Etika sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan oleh orang lain akan mengakibatkan kehilangan kepercayaan yang berdampak sangat buruk, karena kepercayaan merupakan suatu dasar atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan.
Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dn ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun kepercayaan yag pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Etika profesi merupakan bagaimana seseorang harus berperilaku baik dalam menjalankan profesinya secara profesional agar dapat diterima oleh masyarakat. Dengan etika profesi diharapkan kaum profesional dapat bekerja sebaik mungkin, serta dapat mempertanggung jawabkan tugas yang dilakukan dari segi tuntutan pekerjaannya.



Sumber :
http://mulyafajar.blogspot.com/2013/04/pengertian-etika-profesi.html
http://sonny1107.wordpress.com/2013/10/13/pengertian-etika-profesi-dan-etika-profesi/
http://rifkygusma.blogspot.com/2009/10/definisi-etika-profesi-akuntansi.html
Noer, Rosita.1998. Menggugah Etika Bisnis Orde Baru. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.